Pilkada merupakan sarana untuk memilih
dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui pilkada, rakyat
secara langsung akan memilih
pemimpinnya di daerah sekaligus memberikan legitimasi kepada siapa yang
berhak dan mampu untuk memerintah. Melalui pilkada perwujudan kedaulatan
rakyat dapat ditegakkan. Pilkada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode
bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah (legitimate).
Mungkin proses "Pemilhan Kepala
Daerah" dapat mempercepat pendewasaan demokrasi di Indonesia, dan
sekaligus proses pendidikan politik yang tepat dan langsung dirasakan
oleh rakyat yang mempunyai hak pilih dan juga bagi generasi muda yang melihat
langsung bagaimana proses demokrasi itu berlangsung. Harus siap untuk menang
dan untuk kalah.
Dengan
pemilihan kepala daerah, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk
menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas, rahasia, dan otonom,
sebagaimana rakyat memilih Presiden dan wakil Presiden (eksekutif), dan anggota
DPD, DPR, dan DPRD (legislatif). Pemilihan Kepalala Daerah didasarkan pada
ketentuan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang tentang pemerintah daerah yang
merupakan hasil revisi dari UU Nomor 22 tahun 1999. Secara teknis petunjuk
pelaksanaan pemilukada tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 6 tahun
2005 tentang cara pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala
daerah.
Awalnya konsep pemilukada langsung ini
terlihat begitu cantik dan ideal namun seiring dilaksanakan di berbagai
daerah ternyata konsep ini mulai memperlihatkan wajah buruknya. Menurut
data departemen dalam negeri, penggunaan anggaran pemilukada pada tahun 2010
menyedot dana Rp.3,5 Triliun. Jika seluruh daerah menggelar pemilukada diperkirakan
dana APBD yang tersedot mencapai sekitar Rp.6 Triliun. Biaya lebih dari Rp 800
miliar untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur
sungguh berlebihan. Jika terus dibiarkan terjadi, hal itu justru membahayakan
demokrasi karena akan memunculkan gelembung demokrasi, realitas demokrasi yang
semu.
Add caption |
Litbang Kompas mencatat, Pilkada Jatim
adalah yang termahal. Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194
miliar. Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya kurang dari Rp
500 miliar.
Arief Budiman, anggota Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Jatim, menjelaskan, pada putaran pertama pilkada, KPU diberi dana Rp
425 miliar. Selain untuk KPU, Pemerintah Provinsi Jatim juga menyediakan dana
untuk instansi lain. Putaran kedua menghabiskan biaya Rp 265 miliar. Adapun
pada penghitungan ulang di Pamekasan dianggarkan Rp 3,3 miliar. Pemungutan
suara ulang di Bangkalan dan Sampang membutuhkan Rp 15,5 miliar, termasuk biaya
pengamanan.
Berbagai peristiwa yang terjadi terkait
pemilukada ini memaksakan kita untuk mengkaji apakah layak konsep pemilukada
langsung ini dipertahankan dalam alam demokrasi kita? Berbagai wacana tentang
penghapusan pemilukada inipun banyak bergulir. Salah satunya datang dari Ketua
PB Nadhlatul Ulama Hasyim Muzadi yang mengusulkan agar proses pemilihan umum
kepala daerah (Pemilukada) secara langsung dihapuskan saja. Karena menurutnya
para pemimpin itu ketika ditagih janjinya, tidak bertanggung jawab karena
merasa sudah membeli suara rakyat. Sementara wacana yang bersifat “jalan
tengah” datang dari Mendagri Gamawan Fauzi yang mengusulkan dalam rangka
penghematan anggaran maka yang dilaksanakan pemilukada langsung hanya pada
pemilihan bupati/walikota saja. Pemilukada gubernur dihapus dan gubernur cukup
dipilih langsung oleh Presiden. Hal tersebut sudah ditindaklanjuti dengan
membawa wacana ini dalam pembahasan revisi UU no 32 tahun 2004.
Terlepas dari berbagai wacana tersebut
menurut pendapat saya pemilukada
gubernur masih perlu, tetapi dengan merubah sistemnya misalnya saja pemilukada
dibagi menjadi dua, untuk bupati/walikota bisa dipilih rakyat, sedangkan untuk
gurbernur dipilih oleh presiden saja. Mengetahui pemimpin Negara sekarang
banyak berbau KKN. Selain itu saya mempunyai ide dengan mengubah system
pemilunya agar lebih efisien efektif dan ekonomis. Misalnya saja pemilihan itu
dibuat secara online mengetahui teknologi jaman sekarang sudah mulai canggih. Untuk
bukti telah memilih bisa menggunakan bukti sidik jari dan dibubuhi tanda
tangan. Sehingga lebih efektif dan efisien. Dengan begitu, rakyat tidak harus
rugi waktu bekerjanya dan Negara juga tidak perlu mengeluarkan banyak dana.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
sistem pemilukada langsung. Yang salah adalah personal atau individu yang
menjalankan system. Ibarat pisau bila dipergunakan oleh orang jahat maka ia
bisa melukai bahkan membunuh, sebaliknya bila digunakan oleh juru masak maka ia
bisa membantu proses pembuatan masakan yang lezat dan bisa menyejahterakan
orang yang memakannya. Sekarang para elit politik selaku kumpulan
individu yang menjalankan system mampukah menjalankan system ini dengan baik?
Mampukah bersikap dewasa dalam berpolitik? Mampukah menggunakan pemilukada
sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat? bila tidak maka lebih baik bubarkan
saja system ini. Untuk apa penggunaan dana triliunan rupiah tetapi hasilnya
adalah kita saling meneror, kita saling menyerang, kita saling menyakiti, yang
bisa menimbulkan disintegrasi bangsa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar